Thursday, 5 December 2013

Implementasi Komunikasi Interpersonal : Sebuah Upaya Pemerintah dalam Rangka Optimalisasi Penyaluran KUR oleh Masyarakat

Implementasi Komunikasi Interpersonal : Sebuah Upaya Pemerintah dalam Rangka Optimalisasi Penyaluran KUR oleh Masyarakat

Oleh: Ahmad Maulani

Kredit Usaha Rakyat (KUR) belum Merata.

Sejak diluncurkan pada tahun 2007 oleh pemerintah, Kredit Usaha Rakyat (KUR) disinyalir telah mampu mengangkat kondisi ekonomi masyarakat khususnya UMKM dan Koperasi. KUR merupakan bantuan kredit atau pinjaman modal kerja kepada usaha yang dinilai produktif namun belum bankable. Hal ini merupakan upaya pemerintah  untuk memberdayakan UKMK dan menanggulangi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat.

Sejauh ini program KUR dapat membantu perekonomian masyarakat khususnya pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini terbukti dengan adanya data yang menyatakan bahwa jumlah dana KUR yang berhasil disalurkan oleh masyarakat yaitu 6,8 triliun dan menjadi 30 triliun pada tahun 2012. Dan total dana yang disalurkan dari tahun 2007 sampai saat ini adalah sebanyak Rp 117,34 triliun[1]

Hampir 6 tahun, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah berjalan. Dampak ekonomi dan sosial telah dirasakan oleh masyarakat terutama pelaku usaha kecil dan menengah yang dapat menerima kredit tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, saat ini penyaluran dana KUR kepada masyarakat telah menyeluruh ke 33 provinsi di Indonesia. Akan tetapi, penyaluran dana KUR belum merata seperti yang dikatakan oleh Menteri Koperasi dan KUKM, Syarif Hasan.

Karena berdasarkan data dan fakta, dana KUR lebih banyak terserap di pulau Jawa dibanding di luar pulau Jawa. Contoh : Dana KUR di Provinsi Sumbar yang terserap hanya senilai Rp 2,3 triliun atau sekitar 42,59% dari pagu (plafond) sebesar sebesar Rp 5,4 triliun[2]. Hal ini juga terjadi pada beberapa provinsi lain di luar Jawa.   Selain itu, mayoritas dana KUR disalurkan pada sektor usaha perdagangan dan jasa, sedangkan sektor pertanian dan perikanan misalnya, hanya mendapat 15% dari total dana yang disalurkan. Begitu pula dengan nilai yang diterima para petani dan nelayan.

Non Performing Loan (NPL) Masih Tinggi

Selain belum meratanya penyaluran KUR, masalah lain dalam program KUR adalah tingginya indeks non performing loan (NPL). NPL pada salah satu bank penyalur KUR, Bank Jatim melebihi 10 persen. Menurut Dirut Bank Jatim Hadi Sukrianto, banyak penerima dana KUR menganggap dana tersebut adalah dana hibah sehingga banyak debitur tidak serius mengembalikan dana tersebut. Begitu juga terjadi pada Bank Mandiri, NPL di Bank tersebut mencapai 3,41 persen. Hal ini terjadi karena dana KUR lebih banyak  disalurkan ke individu. Bahkan NPL dari Bank BNI melebihi angka 10%. Selain BNI, NPL BRI  (KUR Ritel)  tercatat sebesar 3,6%, BRI (KUR Mikro) 1,8%, Bank Mandiri 3,5%,  BTN  6,9%, Bukopin  4,2%, Bank Syariah Mandiri 6,8%, BNI Syariah 3,9% dan BPD sebesar 7,5%.  Total Rata-rata NPL KUR 4,5%.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan aktualisasi kebijakan dalam penyaluran dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tersebut khususnya dalam upaya memperluas wilayah jangkauan KUR dan menekan angka Non Perrforming Loan . Hal ini tentu saja harus dilakukan pemerintah agar dampak positif dari KUR yaitu  meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dapat semakin meluas.

Aktualisasi Kebijakan Komunikasi KUR

Diantara kendala yang dihadapi adalah para pelaku usaha kecil enggan berhubungan dengan pihak kreditur atau perbankan karena alasan tertentu atau kesulitan memenuhi persyaratan yang diperlukan. Hal ini terjadi dikarenakan mayoritas pelaku usaha kecil dan menengah berasal dari kalangan yang tidak berpendidikan tinggi sehingga mengakibatkan terbatasnya pola pikir (mindset) mereka terhadap dunia luar termasuk dunia perbankan. Sedangkan penyebab tingginya angka NPL telah dipaparkan sebelumnya.

Oleh karena itu, Pemerintah bersama dinas di daerah harus memperbaiki  komunikasi yang baik kepada masyarakat menjadi komunikasi interpersonal. Hal ini tentu saja harus dilakukan agar tujuan utama dari program KUR dapat tercapai dengan baik. Komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera (Effendy:2003:30). Komunikasi model ini sangat efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang termasuk pelaku usaha dan debitur dari program Kredit Usaha Rakyat, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Feedback dari komunikan (pelaku usaha atau debitur) bersifat langsung karena komunikator (pemerintah atau perbankan) dapat mengetahui tanggapan komunikan saat itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Dan komunikator dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya (Sunarto:2003:13).

Agar komunikasi Interpersonal antara pemerintah dengan pelaku usaha dapat berjalan efektif, maka harus dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu:

1. Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan biasanya mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi.  Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Dengan aspek keterbukaan ini, pelaku usaha akan merasa nyaman berkomunikasi dengan pihak luar baik pemerintah maupun perbankan. Jika komunikasi yang terjadi dapat berjalan dengan baik, maka tujuan yang diharapkan oleh kedua belah pihak dapat tercapai.

2. Empati (empathy)
Henry Backrack (1976) mendefinisikan empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu. Berempati adalah merasakan sesuatu sama seperti orang yang mengalaminya  dalam hal ini adalah para pelaku usaha yang menjadi target Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pihak pemerintah atau perbankan dituntut mampu memahami motivasi dan pengalaman pelaku usaha, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.

3. Sikap mendukung (supportiveness)
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Terlebih antara pihak yang saling membutuhkan  yaitu pemerintah dan pelaku usaha. Suatu konsep ini dirumuskan oleh seorang ahli yang bernama Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4. Sikap positif (positiveness)
Baik pemerintah maupun pihak perbankan dapat mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif.

5. Kesetaraan (Equality)
Dalam berbagai situasi khususnya dalam komunikasi bisa saja terjadi ketidaksetaraan. Karena tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal termasuk komunikasi antara pemerintah atau pihak perbankan maupun pelaku usaha. Dengan komunikasi yang menjunjung kesetaraan, maka kedua belah pihak akan terlihat saling membutuhkan.  Menurut istilah Carl rogers, kesetaraan berarti meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

Walaupun komunikasi ini dipastikan membutuhkan waktu yang panjang karena banyaknya pelaku usaha dan perbedaan mindset masing – masing pelaku usaha, maka pemerintah dapat mengawali komunikasi tersebut dengan melakukan pengelompokkan kelompok usaha misal, kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok pembatik,dan lain- lain. Hal ini diharapkan akan memudahkan penyuluh atau komunikator dari pemerintah atau pihak perbankan dalam penyebaran informasi mengenai KUR kepada masyarakat.

Tentu saja kebijakan komunikasi interpersonal ini harus dilakukan secara simultan dan kontinyu agar tingkat efektifitas dan efisiensi penyaluran dana KUR terus meningkat sehingga program KUR yang dicanangkan pemerintah dapat berjalan optimal. Oleh karena itu, kerja sama dari semua pihak termasuk masyarakat terlebih pelaku usaha dan penerima dana KUR sangat diperlukan untuk menjadikan program KUR ini berhasil dan bermanfaat.

[1] http://kabarbisnis.com/read/2840122
[2] http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2013/05/31/32189/

0 comments:

Post a Comment